Rida Atas Ketentuan Allah SWT

Hendaknya engkau pun selalu rela dengan ketentuan Allah SWT, karena kerelaan merupakan hasil dari mahabbah dan makrifat yang paling mulia.
Orang yang cinta sudah sewajarnya rela dengan tindakan kekasihnya, manis atau pahit baginya sama saja.
Allah SWT berfirman dalam hadis qudsi:
“Barangsiapa tidak rida dengan qadha-Ku dan tidak sabar atas cobaan-Ku, maka carilah Tuhan selain-Ku.” (HR. Ibnu Hibban, Thabrani, Abu Dawud dan Ibnu Asakir)
Sabda Rasululiah Saw:
“Sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, Allah memberi cobaan kepada mereka. Maka, barangsiapa rida (atas cobaan-Ku), baginya keridaan(Ku). Dan barangsiapa murka (atas cobaan-Ku), baginya kemurkaan-Ku.” (al-Hadis)
Oleh karena itu, wajib bagi dirimu, wahai orang yang beriman Intuk mengetahui dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa hanya Allah yang memberi petunjuk dan kesesatan, kesusahan dan kebahagiaan, mendekatkan dan menjauhkan, memberi dan menahan, merendahkan dan meninggikan, memberi mudharat dan manfaat. Bila kesemuanya telah engkau ketahui dan engkau beriman padanya, maka wajib bagimu untuk tidak menentang Allah secara lahir dan batin, atau dengan perkataan yang bersifat memprotes Allah SWT.
Mengapa ini terjadi? Untuk apa hal ini terjadi? Apa sebabnya hal ini terjadi? Dosa apa yang menyebabkan si Fulan mendapat cobaan seperti itu?
Tak ada perbuatan yang lebih bodoh daripada menentang Allah atas kerajaan dan kekuasaan-Nya. Padahal ia telah mengetahui bahwa hanya Allah yang berkuasa dalam penciptaan, pemerintahan, penghukuman serta pengaturan atas setiap makhluk. Ia pun berhak melakukan segala sesuatu yang Ia inginkan dan menghukum siapapun yang Ia kehendaki.
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatnya dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. al-Anbiya’: 23)
Dalam hal ini wajib bagimu untuk yakin bahwa semua pekerjaan Allah pasti terjadi dan tak ada hukum yang lebih kuat, lebih adil dan lebih sempurna selain dari-Nya. Penjelasan di atas mengandung pengertian rida dengan ketentuan Allah secara global.
Untuk lebih jelasnya, marilah kita amati lebih rinci pengertian rida (rela) yang dalam hal ini terbagi menjadi dua bagian.

  1. Pertama, segala sesuatu yang selalu menyertaimu seperti kesehatan dan kekayaan. Pada bagian ini tak akan terbayang bagimu rasa sesal dan rasa tidak senang kecuali bila engkau memandang pada orang: orang yang memiliki kelebihan dalam kedua masalah ini.
    Maka dari itu, wajib bagimu rida dengan kesehatan dan kekayaan yang telah diberikan oleh Allah, telah memilihkan sesuatu yang membawa kemaslahatan dan paling sesuai dengan keadaanmu.
  2. Kedua, sesuatu yang jarang sekali menimpa dirimu seperti bencana, nyakit dan kemiskinan. Dilarang mengeluh dan menyesali keadaan, yang terbaik bagimu ialah bersikap rida dan tawakal, dan bila engkau ak mampu melakukannya, maka bersabarlah dan puas dengan pemberian Allah SWT. Rasulullah Saw bersabda:
    “Sembahlah Allah dengan rida. Bila engkau tak mampu, maka bersabarlah atas segala sesuatu yang tak engkau sukai karena di dalamnya banyak mengandung nilai kebaikan.” (al-Hadis)

Lain halnya dengan orang-orang bodoh yang senantiasa merasa tenang dengan meninggalkan perintah Allah dan menjalankan larangan-Nya dan mereka pun berdalih bahwa mereka rida dengan ketentuan Allah SWT.
Melakukan kemaksiatan dan meninggalkan ketaatan tak akan menimbulkan rida Allah, bahkan murka-Nya yang akan mereka peroleh. Oleh karena itu bagaimana mungkin mereka mengatakan bahwa mereka rida pada Allah padahal Allah sendiri tidak rida kepada Mereka,
Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridai kekafiran bagi hamba-Nya, dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai bagimu kesyukuran itu.” (QS. az-Zumar: 7)
Sesungguhnya keridaan mereka hanya tercurah pada diri mereka sendiri, tetapi mereka justru mengira hahwa mereka telah rida pada Allah SWT Maka, perlu kita ketahui bahwa rida pada nafsu dan rida pada ketentuan Allah SWT tak akan pernah menyatu.

Imam al Ghazali berkata kepada Abil Fathi ad Dimsyqi, “Rida akan ketentuan Allah, secara batin ialah engkau rela menerima segala sesuatu yang dikerjakan oleh Allah SWT Sedangkan secara lahir ialah engkau selalu rida mengerjakan segala sesuatu yang diridai-Nya.”
Untuk mengetahui tingkat keridaan seseorang akan qadha Allah SWT. maka perhatikan bagaimana sikapnya ketika ia tertimpa musibah berupa penyakit dan kemiskinan. Pada saat itulah engkau dapat menilai kadar keridaannya pada Allah SWT.
Pada saat sekarang ini, jika engkau bertanya pada orang-orang yang melakukan kemaksiatan dan meninggalkan ketaatan, “mengapa engkau berbuat seperti itu?”
Mereka menjawab, “Tindakan kami ini sebenarnya telah ditakdirkan oleh Allah dan kami pun tak mampu melepaskannya karena kami hanyalah hamba-hamba yang tak berdaya.”
Ini adalah jawaban kaum Jabariyah. Kalau begitu kita harus mempertanyakan pula, “Apa perlunya Allah mengangkat rasul-rasul dan menurunkan beberapa kitab suci bagi mereka?”
Pendapat mereka telah nyata salah dan menyimpang dari kebenaran.
Bahkan sangat mengherankan sekali, mereka berhujjah dalam masalah keimanan dan mereka merasa hujjahnya lebih benar dari Allah SWT.
Seharusnya seorang mukmin tidak berkata seperti perkataan kaum musyrikin yang terdapat dalam firman Allah SWT:

“Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan nenek moyang kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.” (QS. al-An am: 148)
Lalu Allah menjawab:
“Katakanlah (wahai Muhammad), apakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami? Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (QS. al-An’am: 148)
Dengan demikian di akhirat kaum musyrikin tak akan mampu berkomentar dengan dalih seperti di atas, bahkan mereka berkata:
“Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan kami adalah orang-orang yang sesat.” (QS. al-Mukminun: 106)
“Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.” (QS. as-Sajdah: 12)
Doa tak akan menodai kesucian rida pada ketentuan Allah. Bahkan ia berfungsi mendekatkan dan mengungkapkan rasa pengabdian. Fungsi lain dari doa ialah menyatakan dan mengakui bahwa diri kita lemah, hina dan selalu butuh pertolongan-Nya. Bila hal ini engkau hayati dan amalkan, maka engkau akan merasa benar-benar telah dekat dengan-Nya.
Sabda Rasulullah Saw:
“Doa adalah kunci ibadah, senjata mukmin, cahaya langit dan bumi Barangsiapa tidak memohon kepada Allah, maka Allah murka kepadanya.” (al-Hadis)
Maha benar Allah dalam firman-Nya:
“Allah mempunyai nama-nama baik, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” (QS. al-A’raf: 180)
Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan.” (QS. Ghafir: 60)
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa Nabi Ibrahim tidak mengucapkan doa apa pun ketika ia dilemparkan ke dalam api Hal ini dikarenakan adanya sebab-sebab tertentu yang dialaminya dalam kondisi seperti itu.
Tetapi dalam peristiwa-peristiwa lain beliau senantiasa berdoa kepada Allah SWT bahkan kisah-kisahnya yang banyak terungkap di dalam Al-Qur’an daripada nabi-nabi lainnya. Oleh sebab itu, kaji dan perdalami ilmu-ilmu yang terdapat dalam Al-Qur’an yang merupakan sumber dari segala ilmu. Pelajari secara menyeluruh yang rumit dan umum serta yang nyata dan abstrak.
“Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Qur’an.” (QS. al-An’am: 38)
Dan dalam firman-Nya yang lain:
“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) al-Qur’an untuk menjelaskan sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. an-Nahi: 89)

Diambil dari Kitab Risalatul Muawwanah – Al Habib Abdullah Al Haddad

Klik

× Ada yang dapat kami bantu?