Gambaran Hati disaat Terbelenggu Syahwat Hawa Nafsu

كَيْفَ يَشْرُقُ قَلْبٌ صُوَرُ الْأَكْوَانِ مُنْطَبِعَةٌ فِيْ مِرْآتِهِ أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلىَ اللهِ وَهُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَوَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَهُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابَةِ غَفَلَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ الْأَسْرَارِ وَهُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ.

Bagaimana hati dapat bersinar sementara gambar dunia terlukis dalam cerminnya?

Atau, bagaimana hati bisa berangkat menuju Allah sementara ia masih terbelenggu oleh syahwatnya?

Atau, bagaimana hati akan berantusias menghadap ke hadirat Allah bila ia belum suci dari “janabah” kelalaiannya?

Atau, bagaimana hati mampu memahami kedalaman misteri gaib padahal ia belum bertobat dari kesalahannya ?

Uzlah yang dibarengi dengan berfikir jernih akan mampu membersihkan hati, mendekatkan diri kepada Allah dan mendorong seseorang untuk mengetahui berbagai rahasia yang halus-halus.

Sedangkan hati yang masih memantulkan beraneka ragam gambaran tentang alam kemakhlukan, maka sesungguhnya ia telah terbelenggu dalam nafsu syahwat. Ia tidak akan mampu mencapai derajat tinggi dan masuk ke golongan orang-orang yang mendapatkan kemuliaan. Hal ini karena ia belum mampu membersihkan diri dari kelalaiannya yang diibaratkan dengan janabat, maka kelalaian itu akan menghalangi seseorang dari derajat kemuliaan, sebagaimana kondisi junub juga menghalangi seseorang dari memasuki masjid yang nota bene merupakan tempat untuk munajat dan mustajab.

Empat pertanyaan di atas merupakan bentuk pengingkaran yang bermakna nafi.

a.Pertama, Tidak mungkin cahaya Allah dapat ditangkap untuk menghiasi hati manusia, apabila cermin hatinya masih tertutup oleh kegelapan dunia.

b.Kedua, Seseorang tidak akan mampu menjumpai Allah, apabila ia masih terbelenggu dalam kubangan syahwatnya.

c.Ketiga, Tidak mungkin seorang hamba dengan keinginan kerasnya untuk masuk ke hadirat Allah, padahal ia belum bersih dari janabat kelalaiannya.

d.Sedangkan keempat, tidak mungkin manusia mampu memahami rahasia yang halus-halus apabila ia masih belum juga bertaubat dari kesalahannya.

Oleh karena itu, keempat prasyarat utama ini harus dimiliki oleh manusia apabila ingin memperoleh empat derajat kemuliaan. Karena cermin hati itu dapat memancarkan cahaya apabila telah mendapatkan sinar keimanan, syahwat harus ditundukkan, membersihkan diri dari janabat kelalaian dan bertaubat dari berbagai kesalahan.

Bersatunya dua perkara yang berlawanan adalah mustahil (sesuatu yang tidak mungkin terjadi) seperti bersatunya gerak dan diam, bersatunya cahaya dan kegelapan. Dan beberapa permasalahan yang disampaikan di atas adalah sesuatu yang berlawanan yang tidak akan mungkin dapat bertemu.

Sesungguhnya bersinarnya hati itu disebabkan oleh cahaya iman dan yakin berlawanan dengan الظلمة (kegelapan) yang menguasainya sehingga menyebabkan berdamainya dia dengan الاغيار (Segala sesuatu selain Allah SWT) dan berdamainya pula ia dengan hal duniawi serta berpegangan erat ia dengannya.

Adapun berangkat menuju pendekatan diri kepada Allah SWT adalah dengan memotong jeratan hawa nafsu dan pengekangan syahwat, tidak dengan pelepasannya yang mengakibatkan diri menjadi terbelenggu tak berdaya untuk bergerak berangkat menuju Allah SWT.

Adapun masuk ke hadirat Allah SWT mewajibkan kesucian dari orang yang memasukinya serta kelurusan hati. Tidak dengan kekeruhan hati dan kelalaiannya yang akan menyebabkan kejauhan hati dari Allah SWT.

Untuk dapat memahami rahasia perkara yang halus dapat diperoleh dengan taqwa, tidak dengan berlarut-larutnya berbuat maksiyat.

Yang demikian ini telah diisyaratkan oleh firman Allah SWT

واتقو الله ويعلمكم الله

Dan takutlah kamu kepada Allah maka Allah akan memberikan kepadamu ilmu pengetahuan.

Dan sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits

من عمل بما يعلم ورثه الله العلم ما لم يعلم

Barang siapa yang mengamalkan ilmu yang ia ketahui maka Allah SWT akan memberikan ilmu (baru) yang belum ia ketahui.

Imam Ahmad bin Hambal berkata kepada Ahmad Ibn Aby al-Hawary RA, “Wahai Ahmad ceritakan kepadaku sebuah kisah yang pernah engkau dengar dari ustadz engkau Abu Sulaiman”.

Kemudian Abi Al Hawary menjawab, “Aku pernah mendengar Abu Sulaiman berkata,’Apa bila hawa nafsu dibelenggu dengan meninggalkan perbuatan dosa maka hati akan dapat menjelajah alam malakut dan hati akan menjadi tempat datangnya hikmah walaupun ia tidak di bimbing oleh orang yang yang alim’”.

Mendengar itu maka Ahmad bin Hambal berdiri dari tempat duduknya tiga kali dan duduk kembali tida kali sambil berkata, “Belum pernah aku mendengar di dalam hikayat islam sesuatu yang lebih mentakjubkan daripada ini”. Kemudian Ibnu Hambal membacakan hadits di atas dan berkata kepada Ahmad Abi al-Hawary, “Engkau benar wahai Ahmad, dan benar pula ustadz engkau, “.

Dan karena inilah Al-Muallif merasa heran terhadap orang yang beri’tiqad adanya persekutuan dari dua hal yang berlawanan tadi dan itu adalah sesuatu yang mustahil.

والله أعلم بالصواب

Klik

× Ada yang dapat kami bantu?