Keutamaan Menulis Ilmu
Nabi Saw. bersabda, “Apabila seorang anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” Para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud sedekah jariyah setelah seseorang mati adalah wakaf, sedangkan ilmu yang bermanfaat setelah mati adalah karangan, pengajaran, dan fatwa yang diberikan. Dalam hal ini, mengarang adalah lebih nyata karena lebih bersinambungan. Sedangkan as-Subki menjelaskan bahwa orang alim sekalipun luas bekal ilmunya dan jelas manfaatnya, tetapi manfaatnya terbatas pada masa hidupnya apabila tidak, mengarang suatu kitab yang dapat ditinggalkan ketika telah tiada atau mewariskan ilmu yang dapat dikutip oleh muridnya ketika tersesat.
Diriwayatkan dari Habib Umar bin Abdurrahman al-Attas bahwasanya suatu ketika seseorang mengatakan di tempat beliau tentang banyaknya karangan. Lalu seorang yang hadir mengatakan bahwa beliau tidak perlu mengarang lagi saat itu. Maka berkatalah Habib Umar, “Apakah akan merugikan bila seseorang menyeru setelah sebelumnya ada orang lain yang menyeru?”
Al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad mengatakan, “Sesungguhnya Allah menuturkan kepada para ulama setiap zaman, sesuatu yang sesuai dengan orang pada zaman itu. Namun, karangan dapat mencapai tempat-tempat yang jauh dan akan tetap ada meskipun orang alim itu telah tiada. Maka baginya akan tercapai dengan semua itu keutamaan menyebarkan ilmu. Dan seseorang yang membuat karangan akan dicatat sebagai guru yang selalu menyeru kepada Allah meskipun telah berada di dalam kubur.Sebagaimana disebutkan dalam hadits, ’Barangsiapa yang membangkitkan lisannya untuk suatu kebenaran yang setelah ia tiada tetap diamalkan orang, maka ia akan diberi ganjarannya sampai hari Kiamat.’”
Al-Imam an-Nawawi mengatakan, “Semestinya seorang guru memberikan perhatian kepada kegiatan mengarang apabila ia mempunyai keahlian untuk itu. Dengan mengarang seseorang akan mengetahui hakikat-hakikat ilmu dan detail-detailnya, dan ilmu itu akan bertahan padanya karena kegiatan itu akan memaksanya untuk banyak meneliti, mengkaji, mendalami, berdiskusi, dan melakukan penelaahan.
Di antara manfaat mengarang, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Khatîb al-Baghdâdiy, adalah bahwa mengarang mengokohkan ingatan, menyucikan hati, mengasah tabiat, memperbagus penjelasan, membuat pengarangnya memiliki nama baik dan pahala yang besar, serta mengabadikannya sampai akhir masa. Dan yang paling utama adalah yang terjaga manfaatnya secara merata dan banyak dibutuhkan orang, serta belum pernah dikarang sebelumnya.
Al-Imam Idrus bin Umar al-Habsyi mengatakan, “Di antara hak para syaikh terhadap murid-muridnya adalah menjaga ilmu dan manfaat yang mereka berikan. Serta menyampaikan kepada orang setelah mereka agar dapat mengambil manfaat dari mereka. Dan agar besar—dengan pahala orang mengambil manfaat dengannya—pahala mereka dan senantiasa hidup sebutan mereka. Karena setiap orang yang mendapatkan petunjuk dan mengamalkan ilmunya sampai hari Kiamat, akan menghasilkan pahala baginya, dan gurunya juga akan mendapatkan ganjaran yang sama dengannya. Sedangkan guru dari gurunya mendapatkan dua kali ganjarannya, guru yang di atasnya lagi akan mendapatkan empat kali ganjarannya, guru yang di atasnya lagi akan mendapatkan delapan kali ganjarannya.Demikianlah, setiap tingkatan berlipat ganda sejumlah pahala orang-orang sesudahnya sampai Nabi Saw. Dengan demikian, dapat diketahui mengapa para pendahulu lebih utama dibandingkan orang-orang belakangan.” Demikian dikutip dari ‘Iqd al-Yawâqît.
Al-Imam an-Nawawi mengatakan, “Seorang alim yang merupakan penulis, semestinya memiliki perhatian lebih pada hasil karya yang belum pernah ditulis sebelumnya. Maksud dari ucapan ini adalah, tidak adanya tulisan yang memenuhi kebutuhan sebagaimana tulisannya dalam segala metodenya. Jika memenuhi kebutuhan sebagian metodenya, hendaknya dia menulis dari jenis tulisan yang sama dan menambahkan manfaat yang dihimpun dengannya, serta merangkum metode yang terlewatkan. Hendaknya tulisannya mencakup manfaat dan banyak dijadikan rujukan.”
Dinukil dari kitab Manhaju Sawi – Habib Zain bin Ibrahim bin Smith