SIKAP RENDAH HATI
Di atas langit masih ada langit begitulah kiranya sebuah nasehat sederhana yang mengajarkan kepada kita semua untuk tidak merasa lebih tinggi dari siapapun, ketika kita merasa lebih tinggi dari yang lain ketahuilah masih ada yang lebih tinggi daripada kita, saat merasa paling kaya ketahuilah ada yang lebih kaya daripada kita, maka apa yang berhak kita sombongkan di kehidupan dunia yang sementara ini.
Rasa sombong hanya akan membawa malapetaka bagi kehidupan, sedangkan sebaliknya dari sombong adalah rendah hati, tawadhu atau handap asor istilah sundanya. Ada yang mengatakan tawadhu adalah tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapa yang mengatakanya, baik ia seorang anak kecil atau orang dewasa yang terkemuka atau yang lemah, merdeka atau sahaya, dan melihat perkataannya bukan orang yang mengatakannya. Ia hanya merendahkan diri untuk menerima kebenaran dan tunduk kepadanya.
Rasulullah saw. Bersabda “barangsiapa yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah mengangkat derajatnya. Dan siapa yang menyombongkan diri maka Allah merendahkannya.” Dan dalam suatu riwayat dari Abu Nu’aim : ”barangsiapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah mengangkat derajatnya.”
Saat Allah menciptakan rasa sombong itu bukanlah untuk menjadikan manusia menjadi penyombong, tetapi agar manusia mengerti sikap rendah hati. Saat Allah menciptakan rasa iri itu bukanlah untuk menjadikan manusia menjadi pendengki, tetapi untuk melatih kebesaran hati. Dan juga dalam salah satu mahfudzat dikatakan yang artinya : “Rendah hatilah tatkala engkau mendapatkan kedudukan di antara orang-orang karena sesungguhnya orang yang tinggi dalam sebuah kaum adalah yang rendah hati.”
Maksudnya adalah Tanda dari kebesaran seseorang adalah sikap rendah hatinya, sebagaimana sering dikatakan “Padi merunduk, tanda berisi”, yang maksudnya adalah bahwa semakin ‘berisi’ seseorang, maka semakin jauhlah ia dari sikap sombong. (Iqbal Fauzi)